JENIS-JENIS TEORI BELAJAR 
Dalam  proses  mengajar  belajar,  penguasaan seorang    guru  dan  cara menyampaikannya merupakan  syarat    yang  sangat  essensial. Penguasaan  guru  terhadap  materi  pelajaran dan  pengelolaan  kelas  sangatlah  penting, namun demikian   belum  cukup untuk menghasilkan pembelajaran  yang  optimal. Selain menguasai  materi  matematika  guru  sebaiknya menguasai    tentang    teori-teori belajar,  agar dapat  mengarahkan  peserta  didik berpartisipasi  secara  intelektual dalam  belajar,  sehingga  belajar menjadi    bermakna bagi  siswa.  Hal  ini  sesuai dengan  isi  lampiran  Peraturan  Menteri Pendidikan  Nasional  (Permendiknas) Nomor  16  Tahun  2007  tentang Standar    Kualifikasi  Akademik  dan  Kompetensi Guru  yang  menyebutkan bahwa  penguasaan  teori  belajar  dan  prinsip-prinsip pembelajaran  yang mendidik  menjadi  salah  satu  unsur  kompetensi  pedagogik  yang harus dimiliki guru.

Jika  seorang  guru   akan menerapkan  suatu   teori   belajar   dalam proses  belajar mengajar, maka  guru  tersebut harus  memahami seluk beluk teori belajar  tersebut  sehingga  selanjutnya  dapat    merancang  dengan    baik bentuk    proses  belajar  mengajar  yang  akan  dilaksanakan.  Adapaun pengertian Teori Belajar adalah teori  yang  mempelajari perkembangan  intelektual  (mental)  siswa. 

Penjelasan berikut merangkum berbagai jenis Teori belajar, antara lain:

Terdapat  dua  aliran  dalam  psikologi  belajar,  yakni  aliran  psikologi  tingkah  laku (behavioristic) dan aliran psikologi kognitif.

1.  TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK
Psikologi belajar atau disebut    juga   dengan   teori   belajar   adalah teori  yang  mempelajari  perkembangan  intelektual  (mental)  individu (Suherman,    dkk:  2001: 30). Didalamnya terdapat dua hal, yaitu 1)  uraian  tentang apa  yang  terjadi  dan  diharapkan  terjadi  pada  intelektual;  dan  2)  uraian    tentang  kegiatan  intelektual anak mengenai  hal-hal yang bisa dipikirkan pada usia tertentu. Dikenal dua  teori  belajar,  yaitu  teori  belajar  tingkah  laku  (behaviorism)    dan  teori  belajar kognitif.  Teori  belajar  tingkah    laku    dinyatakan  oleh    Orton    (1987:    38)    sebagai  suatu    keyakinan  bahwa  pembelajaran  terjadi    melalui    hubungan  stimulus    (rangsangan)  dan  respon  (response).  Berikut  dipaparkan  empat  teori  belajar  tingkah  laku yaitu  teori  belajar dari Thorndike, Skinner, Pavlov, dan Bandura.
a.  Teori Belajar dari Thorndike
Edward    Lee  Thorndike  (1874   –  1949)    mengemukakan  beberapa  hukum  belajar  yang  dikenal    dengan    sebutan  Law  of  effect.  Belajar  akan    lebih berhasil  bila respon siswa  terhadap suatu  stimulus  segera  diikuti  dengan  rasa    senang    atau    kepuasan.  Rasa  senang  atau  kepuasan  ini  bisa  timbul sebagai akibat anak mendapatkan pujian atau  ganjaran lainnya. Stimulus  ini termasuk  reinforcement.  Setelah    anak    berhasil  melaksanakan  tugasnya  dengan    tepat    dan    cepat,  pada    diri  anak    muncul    kepuasan  diri  sebagai akibat sukses yang diraihnya. Anak memperoleh suatu kesuksesan yang pada gilirannya akan mengantarkan dirinya ke jenjang kesuksesan berikutnya.
Teori  belajar  stimulus-respon  yang  dikemukakan oleh  Thorndike ini disebut  juga teori   belajar koneksionisme.Pada  hakikatnya  belajar  merupakan  proses pembentukan hubungan antara stimulus  dan respon. Terdapat beberapa dalil atau hukum  yang  terkait dengan teori  koneksionisme yaitu  hukum  kesiapan (law  of readiness), hukum latihan (law of exercise) dan hukum akibat (law of effect).
1) Hukum  kesiapan  (law  of  readiness)    menjelaskan  kesiapan  seorang    anak  dalam  melakukan    suatu      kegiatan.    Seorang      anak      yang    mempunyai  kecenderungan  untuk      bertindak    atau      melakukan    kegiatan      tertentu  kemudian    melakukan  kegiatan    tersebut,  maka    tindakannya  akan  melahirkan  kepuasan  bagi  dirinya.  Tindakan-tindakan    lain    yang    dia  lakukan  tidak  menimbulkan kepuasan bagi dirinya.
2) Hukum    latihan    (law    of  exercise)    menyatakan  bahwa    jika  hubungan stimulus- respon  sering  terjadi,  akibatnya  hubungan  akan  semakin  kuat, sedangkan makin jarang  hubungan stimulus-respon dipergunakan, maka makin    lemah    hubungan  yang  terjadi.  Hukum  latihan  pada  dasarnya menggunakan  dasar    bahwa  stimulus  dan    respon  akan    memiliki  hubungan satu  sama  lain  secara  kuat, jika proses pengulangan  sering   terjadi,   makin   banyak   kegiatan    ini   dilakukan    maka hubungan yang terjadi    akan    bersifat    otomatis.  Seorang    anak    yang  dihadapkan  pada suatu  persoalan  yang  sering  ditemuinya  akan  segera  melakukan tanggapan  secara  cepat  sesuai  dengan  pengalamannya  pada  waktu sebelumnya.
3) Hukum  akibat  (law  of  effect)  menjelaskan  bahwa  apabila  asosiasi  yang terbentuk antara stimulus dan  respon diikuti  oleh  suatu  kepuasan maka asosiasi  akan  semakin    meningkat.  Hal  ini  berarti  bahwa    kepuasan  yang terlahir dari  adanya ganjaran dari guru akan memberikan kepuasan bagi anak, dan anak cenderung untuk berusaha melakukan atau meningkatkan apa yang telah dicapainya  itu. Selanjutnya Thorndike mengemukakan hukum tambahan sebagai berikut:
1)  Hukum reaksi bervariasi (law of multiple response)
Individu    diawali    dengan    proses    trial    and  error    yang  menunjukkan bermacam- macam  respon sebelum  memperoleh respon yang  tepat  dalam  memecahkan masalah yang dihadapi.
2)  Hukum sikap (law of attitude)
 Perilaku    belajar    seseorang  tidak  hanya  ditentukan  oleh  hubungan  stimulus  dan  respon  saja,  tetapi    juga  ditentukan  oleh  keadaan  yang  ada  dalam    diri individu baik kognitif, emosi, sosial, maupun psikomotornya.
3)  Hukum aktivitas  berat sebelah (law of prepotency element)
Individu  dalam  proses    belajar  memberikan  respons  pada  stimulus    tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi (respon selektif).
4)  Hukum respon melalui analogi (law of response by analogy)
Individu  dapat  melakukan respons pada  situasi  yang  belum  pernah dialami karena      individu      sesungguhnya    dapat      menghubungkan    situasi      yang  belum  pernah    dialami      dengan      situasi      lama    yang    pernah    dialami  sehingga      terjadi  transfer    atau    perpindahan    unsur-unsur    yang    telah  dikenal    ke    situasi      baru.  Semakin  banyak  unsur  yang  sama,  maka  transfer akan semakin mudah.
5)  Hukum perpindahan asosiasi (law of associative shifting)
Proses      peralihan    dari      situasi      yang    dikenal      ke    situasi      yang    belum   dikenal  dilakukan      secara   bertahap  dengan    cara    menambahkan    sedikit  demi  sedikit unsur lama.
Selain  menambahkan  hukum-hukum  baru,  dalam  perjalanan  penyampaian teorinya, Thorndike mengemukakan revisi hukum belajar antara lain:
1)  Hukum    latihan    ditinggalkan  karena    ditemukan  pengulangan  saja    tidak  cukup  untuk    memperkuat  hubungan  stimulus-respons,  sebaliknya    tanpa  pengulangan belum tentu akan memperlemah hubungan stimulus-respons.
2)  Hukum    akibat    (law  of  effect)  direvisi,  karena    dalam    penelitiannya  lebih  lanjut  ditemukan bahwa  hanya  sebagian  saja dari  hukum  ini  yang  benar. Jika diberikan  hadiah    (reward)  maka    akan    meningkatkan  hubungan  stimulus-respons, sedangkan jika diberikan hukuman (punishment) tidak berakibat apa-apa
3)  Syarat    utama    terjadinya  hubungan  stimulus-respons  bukan    kedekatan,  tetapi adanya saling sesuai antara stimulus  dan respons.
4)  Akibat  suatu  perbuatan  dapat menular  baik  pada  bidang  lain maupun  pada individu lain.
Implikasi  dari  aliran  pengaitan ini  dalam  kegiatan   belajar   mengajar sehari-hari adalah bahwa:
1)  Untuk    menjelaskan    suatu      konsep,    guru      sebaiknya    mengambil      contoh   yang  sekiranya  sudah    sering    dijumpai    dalam    kehidupan  sehari-hari.  Alat peraga  dari alam sekitar  akan lebih dihayati.
2)  Metode   pemberian  tugas,  metode    latihan   (drill   dan    practice)   akan   lebih  cocok  untuk    penguatan  dan    hafalan.  Dengan    penerapan  metode    tersebut siswa    akan  lebih    banyak    mendapatkan  stimulus    sehingga    respon  yang diberikan pun  akan lebih banyak.
3)  Hierarkis    penyusunan  komposisi    materi    dalam    kurikulum  merupakan  hal yang  penting.Materi  disusun    dari  materi    yang  mudah,  sedang,  dan  sukar sesuai  dengan  tingkat    kelas,  dan  tingkat    sekolah.  Penguasaan  materi    yang lebih  mudah    sebagai  akibat    untuk    dapat    menguasai  materi    yang  lebih sukar.  Dengan  kata    lain  topik  (konsep)  prasyarat  harus  dikuasai  dulu  agar dapat memahami topik berikutnya.

b.  Teori Belajar Pavlov
Pavlov      terkenal    dengan      teori      belajar      klasik.    Pavlov      mengemukakan  konsep  pembiasaan  (conditioning).  Terkait    dengan    kegiatan    belajar  mengajar, agar  siswa belajar  dengan  baik maka harus  dibiasakan. Misalnya, agar  siswa  mengerjakan  soal  pekerjaan  rumah    dengan  baik,  biasakanlah dengan    memeriksanya,  menjelaskannya,  atau  memberi  nilai  terhadap  hasil pekerjaannya.

c.  Teori Belajar  Skinner
Burhus  Frederic  Skinner  menyatakan  bahwa  ganjaran  atau    penguatan mempunyai peranan  yang  amat   penting   dalam   proses   belajar.  Terdapat  perbedaan    antara  ganjaran  dan  penguatan.  Ganjaran  merupakan  respon  yang  sifatnya  menggembirakan  dan  merupakan  tingkah    laku  yang  sifatnya  subjektif,  sedangkan  penguatan  merupakan  sesuatu  yang    mengakibatkan meningkatnya  kemungkinan  suatu  respon  dan  lebih  mengarah  pada  hal-hal yang dapat diamati dan diukur.
Skinner  menyatakan  bahwa  penguatan  terdiri  atas  penguatan  positif  dan penguatan negatif. Penguatan dapat  dianggap  sebagai stimulus  positif, jika penguatan  tersebut  seiring  dengan    meningkatnya  perilaku    anak  dalam melakukan  pengulangan  perilakunya  itu.  Dalam  hal  ini  penguatan  yang diberikan pada    anak    memperkuat  tindakan  anak,  sehingga    anak    semakin  sering  melakukannya. Contoh  penguatan positif  diantaranya  adalah   pujian   yang  diberikan  pada   anak.  Sikap  guru   yang bergembira pada  saat  anak  menjawab pertanyaan, merupakan penguatan positif pula. Untuk  mengubah tingkah    laku    anak    dari    negatif    menjadi    positif,  guru    perlu  mengetahui  psikologi    yang  dapat    digunakan  untuk    memperkirakan  (memprediksi)  dan mengendalikan  tingkah  laku  anak.  Guru  di  dalam  kelas  mempunyai  tugas untuk  mengarahkan    anak    dalam    aktivitas      belajar,    karena      pada    saat  tersebut,    kontrol  berada  pada    guru,  yang  berwenang  memberikan  instruksi  ataupun larangan pada anak didiknya.
Penguatan  akan    berbekas  pada    diri    anak.  Mereka    yang    mendapat  pujian  setelah  berhasil    menyelesaikan  tugas    atau    menjawab  pertanyaan  biasanya  akan    berusaha  memenuhi  tugas    berikutnya  dengan    penuh    semangat. Penguatan yang  berbentuk hadiah  atau pujian akan memotivasi anak untuk  rajin belajar  dan mempertahankan prestasi yang diraihnya. Penguatan seperti  ini  sebaiknya  segera    diberikan  dan  tak  perlu    ditunda-tunda.  Karena  penguatan akan berbekas pada  anak, sedangkan hasil penguatan  diharapkan  positif,    maka      penguatan    yang      diberikan    tentu  harus  diarahkan pada respon anak  yang  benar. Janganlah memberikan penguatan atas respon anak jika respon tersebut sebenarnya tidak diperlukan.
Skinner  menambahkan  bahwa    jika  respon  siswa  baik  (menunjang  efektivitas pencapaian  tujuan)    harus  segera  diberi  penguatan  positif  agar  respon tersebut  lebih  baik    lagi,  atau    minimal    perbuatan  baik    itu    dipertahankan. Sebaliknya  jika respon siswa  kurang  atau  tidak  diharapkan sehingga  tidak  menunjang tujuan  pengajaran, harus  segera  diberi  penguatan negatif agar respon  tersebut  tidak    diulangi    lagi  dan  berubah  menjadi    respon  yang  sifatnya  positif. Penguatan negatif  ini bisa  berupa teguran, peringatan, atau sangsi (hukuman edukatif).

d.  Teori belajar Bandura (Teori  Belajar  Sosial  /Social  Learning  Theory)
Bandura    mengemukakan  bahwa  siswa  belajar  melalui  meniru. Pengertian meniru    di  sini  bukan  berarti  menyontek,  tetapi    meniru    hal-hal  yang dilakukan    oleh  orang  lain,  terutama  guru.  Jika  tulisan    guru  baik,  guru berbicara  sopan  santun  dengan  menggunakan  bahasa    yang  baik  dan  benar, tingkah    laku  yang  terpuji,  menerangkan  dengan    jelas  dan  sistematik,  maka siswa akan menirunya. Jika contoh-contoh yang dilihatnya kurang  baik  ia pun  menirunya.  Dengan    demikian    guru    harus    menjadi  manusia    model  yang profesional.
Bandura    memandang  tingkah    laku    manusia    bukan   semata-mata  refleks  otomatis atas  stimulus, melainkan juga  akibat  reaksi  yang  timbul  sebagai  hasil  interaksi antara lingkungan  dengan  skema  kognitif manusia  itu sendiri. Teori  belajar    sosial  dari    Bandura    ini  merupakan  gabungan    antara  teori  belajar    behavioristik  dengan  penguatan  dan  psikologi    kognitif,  dengan  prinsip    modifikasi  perilaku. Teori  Belajar  Sosial  (Social  Learning  Theory)  dari Bandura didasarkan pada tiga konsep, yaitu:
1)  Reciprocal determinism
Pendekatan  yang  menjelaskan  tingkah    laku    manusia    dalam    bentuk  interaksi  timbal-balik  yang  terus    menerus  antara  kognitif,  tingkah    laku, dan  lingkungan.  Orang  menentukan/ mempengaruhi  tingkahlakunya  dengan  mengontrol  lingkungan,  tetapi  orang  itu  juga  dikontrol  oleh kekuatan lingkungan itu.
2)  Beyond reinforcement
Bandura  memandang  teori  Skinner  dan  Hull  terlalu  bergantung  pada reinforcement. Jika setiap  unit respon sosial yang kompleks  harus  dipilah-pilah  untuk  direforse  satu  persatu,  bisa  jadi  orang  malah  tidak  belajar apapun. Menurutnya, reinforcement  penting  dalam  menentukan apakah  suatu  tingkah laku  akan  terus  terjadi  atau  tidak, tetapi  itu  bukan  satu-satunya pembentuk tingkah laku. Orang dapat  belajar  melakukan sesuatu hanya dengan  mengamati dan kemudian mengulang  apa yang dilihatnya.
Belajar  melalui  observasi  tanpa  ada  reinforcement    yang  terlibat,  berarti tingkah  laku ditentukan oleh antisipasi konsekuensi.
3)  Self-regulation/cognition
Teori  belajar  tradisional  sering  terhalang  oleh  ketidaksenangan  atau ketidakmampuan  mereka  untuk  menjelaskan  proses    kognitif.  Konsep bandura menempatkan manusia sebagai  pribadi yang dapat mengatur diri sendiri    (self  regulation),  mempengaruhi  tingkah  laku  dengan  cara mengatur lingkungan, menciptakan  dukungan  kognitif,  dan   mengadakan  onsekuensi  bagi   bagi tingkah lakunya sendiri.
Prinsip dasar belajar sosial (social learning)  adalah:
1)  Sebagian  besar  dari  yang  dipelajari  manusia  terjadi  melalui  peniruan (imitation) dan penyajian  contoh perilaku  (modeling).
2)  Dalam hal ini,  seorang  siswa  mengubah perilaku  sendiri  melalui  penyaksian cara   orang/sekelompok  orang   yang   mereaksi/merespon  sebuah stimulus tertentu.
3)  Siswa  dapat  mempelajari  respons-respons  baru  dengan  cara  pengamatan terhadap  perilaku  contoh  dari  orang  lain,  misalnya:  guru/orang  tuanya. Pendekatan  teori  belajar    sosial    terhadap  proses  perkembangan  sosial  dan moral siswa ditekankan pada perlunya pembiasaan merespons (conditioning) dan peniruan (imitation).
Teori    belajar    sosial    memiliki    banyak    implikasi    untuk    penggunaan  di  dalam  kelas, yaitu:
1)  Siswa sering belajar hanya dengan mengamati orang lain, yaitu guru.
2)  Menggambarkan konsekuensi perilaku yang dapat secara  efektif meningkatkan perilaku   yang  sesuai   dan   menurunkan  yang  tidak   pantas.  Hal  ini  dapat melibatkan berdiskusi dengan  pelajar  tentang imbalan  dan  konsekuensi dari berbagai  perilaku.
3)  Modeling   menyediakan  alternatif  untuk   membentuk  perilaku   baru   untuk mengajar.  Untuk  mempromosikan  model  yang  efektif,  seorang    guru  harus memastikan  bahwa    empat    kondisi    esensial    ada,  yaitu  perhatian,  retensi, motor reproduksi, dan motivasi
4)  Guru  dan  orangtua  harus    menjadi    model  perilaku    yang  sesuai    dan  berhati-hati agar mereka  tidak meniru perilaku  yang tidak pantas,
5)  Siswa      harus       percaya        bahwa      mereka        mampu      menyelesaikan    tugas-tugas  sekolah.  Sehingga    sangat    penting    untuk    mengembangkan  rasa  efektivitas    diri  untuk    siswa.  Guru  dapat    meningkatkan  rasa    efektivitas    diri siswa  dengan    cara  menumbuhkan  rasa  percaya  diri  siswa,  memperlihatkan pengalaman  orang  lain  menjadi      sukses,    danmenceritakan    pengalaman  sukses   guru   atau   siswa  itu sendiri.
6)  Guru harus  membantu siswa menetapkan harapan yang realistis untuk prestasi akademiknya. Guru harus  memastikan bahwa  target  prestasi siswa tidak lebih rendah dari potensi siswa yang bersangkutan.
7)  Teknik pengaturan diri menyediakan metode  yang efektif untuk  meningkatkan perilaku  siswa.

2. TEORI BELAJAR VYGOTSKY
Menurut    pandangan  konstruktivisme  tentang  belajar,  individu    akan  menggunakan  pengetahuan  siap  dan  pengalaman  pribadiyang  telah    dimilikinya  untuk    membantu  memahami  masalah    atau    materi   baru.  King  (1994) menyatakan bahwa  individu dapat   membuat  inferensi   tentang  informasi   baru  itu,    menarik    perspektif    dari  beberapa  aspek    pada    pengetahuan  yangdimilikinya, mengelaborasi materi  baru dengan menguraikannya secara rinci, dan menggeneralisasi hubungan antara materi baru dengan informasi  yang telah ada dalam  memori    siswa.  Aktivitas  mental  seperti  inilah  yang  membantu  siswa mereformulasi informasi  baru  atau  merestrukturisasi pengetahuan  yang  telah  dimilikinya    menjadi      suatu      struktur  kognitif    yang    lebih  luas/lengkap sehingga mencapai  pemahaman mendalam.
Lev  Semenovich    Vygotsky  merupakan  tokoh    penting    dalam    konstruktivisme sosial.  Vygotsky    menyatakan  bahwa      siswa    dalam    mengkonstruksi    suatu   konsep   perlu memperhatikan lingkungan  sosial. Ada dua  konsep  penting  dalam  teori  Vygotsky, yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding. Zone  of  Proximal  Development  (ZPD)  merupakan  jarak  antara  tingkat perkembangan  aktual  (yang  didefinisikan  sebagai  kemampuan  pemecahan masalah  secara mandiri) dan tingkat perkembangan potensial (yang didefinisikan sebagai  kemampuan  pemecahan  masalah    di    bawah    bimbingan    orang    dewasa  atau    melalui    kerjasama  dengan    teman    sejawat    yang  lebih    mampu).  Yang dimaksud dengan  orang  dewasa adalah guru atau orang tua.
Scaffolding  merupakan  pemberian  sejumlah    bantuan  kepada    siswa    selama  tahap- tahap  awal  pembelajaran,  kemudian  mengurangi  bantuan  dan memberikan kesempatan untuk  mengambil  alih tanggung  jawab  yang semakin  besar  setelah  ia dapat melakukannya. Bantuan tersebut dapat berupa   petunjuk,   dorongan, peringatan, menguraikan  masalah  ke  dalam  langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa  itu belajar mandiri

Berdasarkan  uraian    di  atas,  Vygotsky  menekankan  bahwa    pengkonstruksian pengetahuan   seorang    individu  dicapai  melalui  interaksi  sosial.  Proses pengkonstruksian  pengetahuan  seperti  yang   dikemukakan  Vygotsky  paling   tidak dapat  diilustrasikan  dalam  beberapa  tahap  seperti    pada  Gambar  2.  Tahap perkembangan  aktual  (Tahap  I)  terjadi  pada  saat  siswa  berusaha  sendiri  menyudahi  konflik  kognitif    yang  dialaminya.  Perkembangan  aktual    ini  dapat  mencapai    tahap  maksimum    apabila      kepada      mereka      dihadapkan    masalah   menantang  sehingga terjadinya konflik  kognitif  di  dalam  dirinya  yang  memicu  dan  memacu  mereka  untuk  menggunakan  segenap  pengetahuan  dan pengalamannya  dalam menyelesaikan masalah tersebut.
Perkembangan potensial (Tahap  II) terjadi  pada  saat  siswa  berinteraksi dengan pihak    lain  dalam    komunitas  kelas    yang  memiliki    kemampuan  lebih,  seperti  teman  dan  guru,  atau  dengan  komunitas  lain  seperti  orang  tua.  Perkembangan potensial ini akan mencapai  tahap  maksimal  jika pembelajaran dilakukan  secara  kooperatif  (cooperative    learning)      dalam    kelompok   kecil    dua    sampai    empat  orang  dan  guru melakukan intervensi secara  proporsional dan terarah. Dalam hal ini  guru  dituntut  terampil  menerapkan  teknik    scaffolding    yaitu    membantu kelompok    secara    tidak  langsung  menggunakan  teknik  bertanya  dan  teknik probing yang efektif, atau memberikan petunjuk (hint) seperlunya.
Proses    pengkonstruksian  pengetahuan  ini  terjadi    rekonstruksi  mental    yaitu berubahnya  struktur  kognitif  dari    skema    yang  telah    ada  menjadi    skema    baru  yang lebih lengkap. Proses internalisasi (Tahap III)  menurut  Vygotsky  merupakan aktivitas mental tingkat  tinggi  jika  terjadi   karena   adanya   interaksi  sosial.  Jika dikaitkan  dengan  teori  perkembanga  mental  yang  dikemukakan  Piaget, internalisasi merupakan proses  penyeimbangan struktur-struktur  internal dengan masukan-masukan  eksternal.  Proses  kognitif  seperti  ini,  pada  tingkat perkembangan yang   lebih   tinggi   diakibatkan  oleh   rekonseptualisasi  terhadap  masalah  atau  informasi  sedemikian  sehingga  terjadi  keseimbangan (keharmonisan)  dari  apa  yang  sebelumnya  dipandang  sebagai  pertentangan  atau konflik. Pada level ini, diperlukan intervensi yang  dilakukan   secara  sengaja  oleh guru    atau    yang    lainnya    sehingga  proses    asimilasi  dan  akomodasi  berlangsung dan mengakibatkan terjadinya keseimbangan (equilibrium).
Aplikasi  pemikiran  Vygotsky  untuk  mempelajari  matematika  menumbuhkan pemahaman matematika dari koneksi  pemikiran dengan bahasa matematika yang baru  dalam  mengkreasipengetahuan. Mengkonstruksi  pengetahuan  merupakan fokus yang krusial  dari  pembelajaran Matematika. Vygotsky percaya bahwa siswa belajar  untuk  menggunakan  bahasa  baru  dengan  internalisasi  pengetahuan  dari kata yang  mereka  katakan, pengembangan budaya  siswa  dari  pengetahuan kata  dua  proses    fungsi.  Pertama,    pada    tingkat      sosial    dan    kedua,  pada    tingkat   individual dimana pengetahuan kata  digeneralisasikan  sebagai  pemahaman.
 Siswa  menggunakandan  menginternalisasikan  kata-kata  baru  yang  saat  itu diperoleh dari orang   lain.  Mereka    selalu    menemukan   diri   mereka  sendiri  dalam  Zona Pengembangan Proksimal  (ZPD) sebagai  pelajaran baru. ZPD merupakan  tempat  pengetahuan  seseorang  di  antara  pengetahuan  saat  itu dengan  pengetahuan potensialnya.

3. TEORI BELAJAR VAN HIELE
Dalam pembelajaran geometri terdapat teori  belajar  yang dikemukakan oleh  van Hiele  (1954) yang  menguraikan tahap-tahap  perkembangan mental  anak  dalam geometri.  van  Hiele  adalah  seorang    guru  bangsa  Belanda  yang  mengadakan penelitiandalam  pembelajaran  geometri.  Penelitian  yang  dilakukan    van  Hiele melahirkan    beberapa    kesimpulan  mengenai      tahap-tahap    perkembangan kognitif anak  dalam  memahami geometri. van  Hielemenyatakan bahwa  terdapat  5  tahap  pemahaman  geometri  yaitu:  pengenalan,  analisis,  pengurutan,  deduksi, dan akurasi.

a) Tahap Visualisasi (Pengenalan)
Pada  tingkat ini,  siswa  memandang  sesuatu  bangun   geometri  sebagai   suatu keseluruhan (holistic). Pada  tingkat  ini  siswa  belum  memperhatikan komponen- komponen dari masing-masing bangun. Dengan  demikian, meskipun pada  tingkat ini siswa  sudah  mengenal  nama  sesuatu bangun, siswa  belum  mengamati ciri-ciri  dari  bangun    itu.  Sebagai  contoh,  pada  tingkat    ini  siswa  tahu  suatu    bangun  bernama  persegipanjang,  tetapi  ia  belum  menyadari  ciri-ciri  bangun persegipanjang tersebut.

b) Tahap Analisis (Deskriptif)
Pada tingkat  ini siswa sudah mengenal bangun-bangun geometri berdasarkan ciri- ciri  dari  masing-masing bangun. Dengan  kata  lain, pada  tingkat  ini  siswa  sudah terbiasa  menganalisis  bagian-bagian  yang  ada    pada    suatu    bangun    dan  mengamati  sifat-sifat    yang  dimiliki  oleh  unsur-unsur  tersebut.  Sebagai  contoh, pada  tingkat    ini  siswa    sudah      bisa    mengatakan    bahwa      suatu      bangun   merupakan persegipanjang karena  bangun  itu  “mempunyai  empat  sisi, sisi-sisi  yang berhadapan sejajar, dan semua sudutnya siku-siku.”

c) Tahap Deduksi Formal (Pengurutan atau Relasional)
Pada  tingkat    ini,  siswa  sudah  bisa  memahami  hubungan  antar    ciri  yang  satu dengan ciri yang lain pada sesuatu bangun. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa sudah  bisa  mengatakan  bahwa    jika    pada    suatu    segiempat  sisi-sisi    yang  berhadapan sejajar, maka  sisi-sisi  yang berhadapan itu sama  panjang. Di samping  itu  pada    tingkat    ini  siswa    sudah    memahami  pelunya    definisi    untuk    tiap-tiap bangun.  Pada    tahap    ini,  siswa    juga    sudah      bisa    memahami  hubungan  antara  bangun   yang  satu  dengan bangun  yang  lain. Misalnya  pada  tingkat  ini siswa  sudah    bisa    memahami  bahwa  setiap    persegi    adalah    juga    persegipanjang, karena   persegi  juga  memiliki  ciri-ciri persegipanjang.

d) Tahap Deduksi
Pada  tingkat  ini (1)  siswa  sudah dapat  mengambil  kesimpulan secara  deduktif, yakni    menarik  kesimpulan  dari    hal-hal    yang bersifat  khusus,  (2)    siswa   mampu memahami pengertian-pengertian pangkal, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan terorema-teorema dalam geometri, dan (3) siswa sudah mulai  mampu  menyusun bukti-bukti  secara  formal.  Ini  berarti  bahwa  pada  tingkat  ini  siswa  sudah memahami  proses    berpikir  yang  bersifat    deduktif-aksiomatis  dan  mampu  menggunakan proses berpikir tersebut.

Sebagai  contoh  untuk  menunjukkan  bahwa  jumlah  sudut-sudut  dalam  jajargenjang  adalah    360°    secara    deduktif    dibuktikan  dengan    menggunakan prinsip kesejajaran. Pembuktian secara  induktif  yaitu dengan  memotong-motong sudut-sudut  benda  jajargenjang,  kemudian  setelah  itu  ditunjukkan  semua  sudutnya  membentuk  sudut  satu  putaran  penuh  atau  360°  belum  tuntas  dan belum  tentu    tepat.  Seperti  diketahui  bahwa    pengukuran  itu    pada    dasarnya mencari   nilai  yang  paling  dekat  dengan ukuran yang sebenarnya. Jadi, mungkin  saja dapat  keliru  dalam  mengukur sudut- sudut  jajargenjang tersebut. Untuk itu pembuktian secara  deduktif  merupakan cara yang tepat dalam pembuktian pada matematika.

Anak pada  tahap  ini telah  mengerti pentingnya peranan unsur-unsur  yang  tidak didefinisikan,    di  samping    unsur-unsur  yang    didefinisikan,    aksioma    atau  problem,  dan    teorema.  Anak  pada    tahap    ini  belum    memahami  kegunaan  dari  suatu    sistem  deduktif.  Oleh  karena    itu,  anak  pada    tahap    ini  belum    dapat  menjawab  pertanyaan:  “mengapa  sesuatu  itu  perlu  disajikan  dalam  bentuk teorema atau dalil?”

e) Tahap Akurasi (tingkat metamatematis atau keakuratan)
Pada tingkat  ini anak sudah memahami betapa pentingnya ketepatan dari prinsip- prinsip  dasar  yang  melandasi  suatu  pembuktian.  Sudah  memahami  mengapa sesuatu  itu  dijadikan  postulat  atau  dalil.  Dalam  matematika  kita  tahu  bahwa betapa  pentingnya  suatu  sistem  deduktif.  Tahap  keakuratan  merupakan  tahap  tertinggi dalam memahami geometri.
Pada  tahap    ini  memerlukan  tahap    berpikir  yang  kompleks    dan  rumit,  siswa mampu  melakukan  penalaran  secara    formal    tentang  sistem-sistem  matematika (termasuk  sistem-sistem  geometri),  tanpa    membutuhkan  model-model  yang konkret sebagai acuan. Pada  tingkat  ini, siswa  memahami bahwa  dimungkinkan adanya    lebih    dari  satu    geometri.  Sebagai  contoh,  pada    tingkat    ini  siswa  menyadari bahwa  jika salah satu  aksioma  pada  suatu  sistem  geometri diubah, maka seluruh geometri tersebut  juga  akan   berubah.  Sehingga,  pada   tahap   ini siswa    sudah      memahami    adanya  geometri-geometri  yang  lain  di  samping geometri Euclides.
Selain  mengemukakan  mengenai    tahap-tahap  perkembangan  kognitif  dalam memahami geometri, van  Hiele  juga  mengemukakan bahwa  terdapat tiga  unsur yang  utama    pembelajaran  geometri  yaitu  waktu,  materi    pembelajaran  dan metode  penyusun  yang  apabila  dikelola  secara  terpadu  dapat    mengakibatkan meningkatnya  kemampuan    berpikir    anak      kepada      tahap      yang   lebih      tinggi   dari   tahap   yang sebelumnya.
Menurut    van  Hiele,  semua    anak  mempelajari  geometri  dengan    melalui  tahap-tahap  tersebut,  dengan    urutan  yang  sama,  dan    tidak    dimungkinkan  adanya  tingkat    yang  diloncati.  Akan  tetapi,  kapan    seseorang  siswa    mulai    memasuki suatu    tingkat    yang  baru    tidak    selalu    sama    antara  siswa    yang    satu    dengan  siswa  yang  lain. Proses perkembangan dari tahap  yang satu ke tahap  berikutnya terutama  tidak  ditentukan  oleh  umur    atau    kematangan  biologis,  tetapi    lebih bergantung pada pengajaran dari guru  dan proses  belajar  yang dilalui siswa. Bila dua  orang    yang  mempunyai  tahap  berpikir  berlainan  satu    sama    lain,  kemudian saling  bertukar pikiran  maka  kedua orang tersebut tidak akan mengerti.
Menurut    van  Hiele  seorang    anak  yang  berada  pada  tingkat    yang  lebih  rendah tidak  mungkin    dapat   mengerti  atau    memahami  materi    yang  berada  pada  tingkat    yang  lebih  tinggi  dari  anak tersebut. Kalaupun anak itu dipaksakan untuk memahaminya,  anak    itu    baru bisa    memahami    melalui    hafalan    saja    bukan   melalui pengertian.  Adapun  fase-fase pembelajaran yang  menunjukkan  tujuan  belajar  siswa dan peran guru   dalam   pembelajaran  dalam   mencapai   tujuan itu. Fase-fase      pembelajaran  tersebut  adalah:    1)  fase    informasi,  2)    fase orientasi,  3)    fase    eksplisitasi,  4)    fase  orientasi  bebas,  dan  5)  fase  integrasi. 
Berdasar  hasil  penelitian  di  beberapa  negara,  tingkatan  dari    van    Hiele    berguna untuk    menggambarkan  perkembangan  konsep  geometrik  siswa  dari  SD  sampai Perguruan Tinggi.
Van  de  Walle  (1990:270)  membuat  deskripsi  aktivitas  yang  lebih  sederhana dibandingkan  dengan   deskripsi  yang  dibuat   Crowley.  Menurut   Van  de  Walle aktivitas  pembelajaran untuk masing-masing tiga tahap pertama adalah:
a.  Aktivitas tahap 0 (visualisasi)
Aktivitas siswa pada tahap ini antara lain:
1)  Melibatkan penggunaan model fisik yang dapat  digunakan  untuk memanipulasi.
2)  Melibatkan  berbagai  contoh  bangun-bangun  yang  bervariasi  dan berbeda sehingga sifat yang tidak relevan dapat diabaikan.
3) Melibatkan  kegiatan  memilih,  mengidentifikasi  dan  mendeskripsikan berbagai  bangun, dan
4) Menyediakan kesempatan  untuk membentuk,  membuat, menggambar, menyusun atau menggunting bangun.

b.  Aktivitas tahap 1 (analisis)       
Aktivitas siswa pada tahap ini antara lain:
1)  Menggunakan model-model pada tahap 0, terutama  model-model yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan berbagai  sifat bangun.
2)  Mulai lebih menfokuskan pada sifat-sifat dari pada sekedar identifikasi
3)  Mengklasifikasi  bangun  berdasar  sifat-sifatnya  berdasarkan  nama  bangun tersebut.
4)  Menggunakan  pemecahan masalah yang melibatkan sifat-sifat bangun.

c.  Aktivitas tahap 2 (deduksi informal)
Aktivitas siswa pada tahap ini antara lain:
1)  Melanjutkan pengklasifikasian model dengan fokus  pada  pendefinisian sifat,  membuat  daftar    sifat  dan  mendiskusikan  sifat  yang  perlu    dan cukup untuk kondisi suatu bangun atau konsep.
2)  Memuat penggunaan bahasa yang bersifat deduktif  informal, misalnya semua, suatu, dan jika – maka, serta mengamati validitas konversi  suatu relasi.
3)  Menggunakan  model  dan  gambar  sebagai  sarana  untuk  berpikir  dan mulai mencari generalisasi atau kontra

4.  TEORI BELAJAR AUSUBEL
David      Ausubel      adalah      seorang        ahli      psikologi      pendidikan.      Ausubel   memberi  penekanan    pada    proses     belajar      yang    bermakna.    Teori    belajar   Ausubel    terkenal  dengan    belajar    bermakna  dan    pentingnya  pengulangan sebelum  belajar   dimulai. Menurut   Ausubel  belajar    dapat   dikalifikasikan  ke  dalam  dua  dimensi.  Dimensi pertama berhubungan dengan  cara informasi  atau  materi    pelajaran  yang  disajikan  pada    siswa    melalui    penerimaan  atau  penemuan. Dimensi  kedua  menyangkut cara bagimana  siswa  dapat  mengaitkan informasi  itu pada  struktur kognitif yang telah ada, yang meliputi  fakta, konsep, dan generalisasi yang telah  dipelajari dan diingat oleh siswa.
Pada  tingkat    pertama  dalam    belajar,  informasi    dapat    dikomunikasikan  pada  siswa  baik  dalam  bentuk    belajar  penerimaan  yang  menyajikan  informasi    itu dalam  bentuk  final,  maupun  dengan   bentuk    belajar    penemuan  yang mengharuskan  siswa    untuk  menemukan  sendiri    sebagian    atau  seluruh  materi  yang akan diajarkan. Pada tingkat kedua, siswa  menghubungkan atau  mengaitkan informasi    itu    pada    pengetahuan  yang  telah  dimilikinya,  dalam  hal  ini  terjadi  belajar  bermakna.  Akan  tetapi,  siswa  itu  dapat    juga  hanya  mencoba-coba menghafalkan informasi  baru itu, tanpa menghubungkannya pada konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitifnya, dalam  hal ini terjadi  belajar  hafalan
Belajar    bermakna    merupakan    suatu      proses      dikaitkannya    informasi      baru   pada  konsep-konsep    yang    relevan      yang    terdapat    dalam      struktur    kognitif  seseorang.  Dalam    belajar      bermakna  informasi      baru    diasimilasikan    pada  subsume-subsume  yang    telah    ada.    Ausubel    membedakan  antara    belajar   menerima  dengan      belajar  menemukan.  Pada  belajar    menerima  siswa  hanya menerima,  jadi  tinggal menghapalkannya,    sedangkan  pada   belajar    menemukan konsep   ditemukan  oleh  siswa,    jadi      siswa      tidak      menerima    pelajaran    begitu   saja.    Selain      itu      terdapat  perbedaan    antara    belajar      menghafal      dengan   belajar    bermakna,  pada   belajar  menghapal siswa  menghafalkan materi  yang sudah    diperolehnya,  sedangkan  pada  belajar      bermakna    materi      yang      telah   diperoleh  itu   dikembangkannya  dengan keadaan lain sehingga belajarnya lebih dimengerti.
Menurut    Ausubel    (dalam    Dahar,  1988:116)  prasyarat-prasyarat  belajar  bermakna  ada    dua    sebagai    berikut.  (1)    Materi    yang    akan    dipelajari  harus  bermakna secara potensial;  kebermaknaan    materi      tergantung    dua      faktor,   yakni      materi      harus  memiliki    kebermaknaan  logis    dan    gagasan-gagasan  yang  relevan    harus    terdapat  dalam    struktur  kognitif  siswa.  (2)    Siswa  yang  akan belajar   harus    bertujuan  untuk  melaksanakan  belajar    bermakna.  Dengan demikian mempunyai kesiapan dan  niat untuk belajar bermakna.

Prinsip-prinsip dalam teori belajar Ausubel
Menurut  Ausubel faktor yang paling penting  yang mempengaruhi belajar adalah apa  yang  sudah    diketahui  siswa.  Jadi  agar    terjadi    belajar    bermakna,  konsep  baru  atau informasi   baru   harus   dikaitkan  dengan   konsep-konsep  yang  telah   ada    dalam  struktur  kognitif  siswa.  Dalam  menerapkan  teori  Ausubel  dalam mengajar, terdapat konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang  harus  diperhatikan.   Prinsip-prinsip tersebut adalah:
a.Pengaturan  Awal  (advance    organizer).  Pengaturan  Awal  mengarahkan  para siswa    ke    materi  yang  akan  dipelajari  dan  mengingatkan  siswa  pada  materi sebelumnya  yang  dapat  digunakanm  siswa  dalam  membantu  menanamkan pengetahuan baru.
b.Diferensiasi    Progresif.  Pengembangan  konsep  berlangsung  paling   baik  jika unsur-unsur  yang  paling  umum,paling  inklusif  dari  suatu  konsep  diperkenalkan  terklebih  dahulu, dan kemudian barudiberikan  hal-hal  yang lebih  mendetail dan  lebih khusus dari konsep itu. Menurut  Sulaiman  (1988: 203) diferensiasi progresif  adalah  cara  mengembangkan  pokok  bahasan  melalui penguraian  bahan    secara  heirarkhis  sehingga    setiap    bagian    dapat    dipelajari  secara  terpisah  dari  satu kesatuan yang besar.
c. Belajar  Superordinat.  Selama  informasi   diterima  dan  diasosiasikan  dengan konsep    dalam  struktur  kognitif  (subsumsi),  konsep    itu  tumbuh  dan  mengalami diferensiasi.  Belajar    superordinat  dapat    terjadi      apabila    konsep-konsep  yang telah  dipelajari sebelumnya dikenal  sebagai  unsur-unsur dari  suatu  konsep yang lebih luas, lebih inklusif.
d. Penyesuaian Integratif (Rekonsiliasi  Integratif). Mengajar  bukan  hanya  urutan menurut  diferensiasi  progresif  yang  diperhatikan,  melainkan  juga  harus diperlihatkan      bagaimana    konsep-konsepbaru      dihubungkan      pada        konsep- konsep    superordinat.  Guru  harus    memperlihatkan  secara    eksplisit    bagaimana arti-arti  baru    dibandingkan  dan    dipertentangkan  dengan    arti-arti  sebelumnya yang  lebih  sempit,  dan  bagimana    konsep-konsep  yang  tingkatannya  lebih  tinggi sekarang mengambil  arti baru.

Penerapan Teori Ausubel dalam Pembelajaran
Untuk    menerapkan  teori    Ausubel    dalam    pembelajaran,  Dadang    Sulaiman  (1988)  menyarankan  agar  menggunakan  dua  fase,  yakni  fase  perencanaan  dan fase  pelaksanaan.  Fase  perencanaan  terdiri  dari  menetapkan  tujuan  pembelajaran,  mendiagnosis    latar    belakang    pengetahuan  siswa,    membuat struktur  materi   dan memformulasikan  pengaturan   awal.  Sedangkan  fase  pelaksanaan  dalam  pemebelajaran  terdiri  dari  pengaturan  awal,  diferensiasi progresif, dan rekonsiliasi integratif.

5.  TEORI BELAJAR BRUNER
Jerome  Bruner adalah  seorang      ahli    psikologi      perkembangan    dari   Universitas  Haevard,  Amerika  Serikat,  yang  telah    mempelopori  aliran    psikologi belajar    kognitif yang     memberikan   dorrongan      agar      pendidikan    memberikan  perhatian   pada pentingnya pengembangan berpikir. Bruner  banyak memberikan pandangan  mengenai    perkembangan  kognitif  manusia,  bagaimana  manusia  belajar    atau  memperoleh  pengetahuan,  menyimpan  pengetahuan  dan mentransformasikan  pengetahuan.  Dalam  mempelajari  manusia,  ia  menganggap manusia    sebagai  pemroses,  pemikir,  dan    pencipta  informasi.  Bruner      dalam  teorinya menyatakan bahwa  belajar  matematika akan  lebih  berhasil  jika proses  pengajaran diarahkan kepada  konsep-konsep dan  struktur-struktur yang termuat dalam    pokok    bahasan  yang      diajarkan,    disamping        hubungan    yang      terkait  antar      konsep-konsep    dan  struktur-struktur.    Dengan    mengenal      konsep      dan  struktur  yang    tercakup dalam  bahan     yang      sedang     dibicarakan,      anak      akan   memahami   materi    yang   harus dikuasainya itu. Ini menunjukkan bahwa  materi  yang  mempunyai  suatu    pola  atau  struktur  tertentu  akan  lebih  mudah  dipahami dan diingat anak.
Menurut  Bruner     (dalam Hudoyo,    1990:48)    belajar      matematika    adalah  belajar mengenai  konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat di dalam materi  yang dipelajari, serta  mencari  hubungan antara konsep-konsep dan  struktur-  struktur  matematika  itu.  Siswa  harus    dapat    menemukan keteraturan dengan  cara mengotak-atik bahan-bahan yang  berhubungan dengan  keteraturan  intuitif    yang  sudah    dimiliki  siswa.  Dengan  demikian    siswa  dalam  belajar,  haruslah  terlibat  aktif  mentalnya  agar    dapat    mengenal    konsep    dan  struktur dalam  materi  yang  sedang dibicarakan. Dengan  demikian  materi  yang  mempunyai suatu  pola  atau  struktur tertentu akan lebih mudah dipahami oleh anak.
Dalam bukunya  (Bruner, 1960)  mengemukakan empat  tema  pendidikan, yakni: (1)  Pentingnya  arti  struktur  pengetahuan.  Kurikulum  hendaknya  mementingkan struktur pengetahuan,  karena dalam struktur  pengetahuan kita  menolong  para siswa  untuk  melihat.  (2)  Kesiapan  (readiness)  untuk  belajar.  Menurut  Bruner (1966:29), kesiapan terdiri atas penguasaan keterampilan-keterampilan yang lebih sederhana  yang  memungkinkan  seorang  untuk  mncapai  keterampilan-keterampilan yang lebih tinggi. (3) Nilai intuisi  dalam  proses  pendidikan.  Intuisi  adalah  teknik-teknik  intelektual  untuk  sampai  pada    formulasi-formulasi  tentatif tanpa  melalui  langkah-langkah  analitis  untuk  mengetahui  apakah  formulasi-formulasi itu merupakan kesimpulan-kesimpulan yang sahih  atau  tidak, serta  (4)  motivasi  atau keinginan untuk  belajar beserta cara-cara yang dimiliki  para  guru   untuk merangsang motivasi itu.

Belajar sebagai Proses Kognitif
Menurut  Bruner  dalam belajar melibatkan tiga  proses  yang  berlangsung hampir bersamaan.  Ketiga  proses tersebut adalah (1)  memperoleh informasi  baru,  (2) transformasi  informasi,  dan  (3)  menguji  relevan  informasi  dan  ketepatan pengetahuan.  Dalam  belajar  informasi  baru  merupakan  penghalusan  dari  informasi sebelumnya yang  dimiliki  seseorang. Dalam transformasi pengetahuan seseorang  memperlakukan  pengetahuan  agar  cocok  atau sesuai  dengan  tugas baru.  Jadi,  transformasi  menyangkut  cara  kita  memperlakukan  pengetahuan, apakah  dengan cara   ekstrapolasi  atau   dengan  mengubah menjadi bentuk lain.
Kita menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan dengan minilai apakah  cara kita memperlakukan pengetahuan itu cocok dengan tugas yang ada. Bruner  menyebut  pandangannya  tentang  belajar  atau  pertumbuhan  kognitif sebagai konseptualisme  instrumental . Pandangan ini berpusat pada  dua  prinsip, yaitu:    (1)  pengetahuan  seseorang  tentang  alam  didasarkan  pada  model-model
tentang kenyataan  yang  dibangunnya  dan (2) model-model  semacam  itu  mula-mula diadopsi  dari  kebudayaan seseorang, kemudian model-model itu  diadaptasi  pada kegunaan bagi orang yang bersangkutan. Pendewasaan  pertumbuhan  intelektual  atau  pertumbuhan  kognitif  seseorang menurut Bruner adalah sebagai berikut.
a.  Pertumbuhan  intelektual  ditunjukkan  oleh  bertambahnya  ketidak-tergantungan  respons  dari  sifat  stimulus.  Dalam  hal  ini  ada  kalanya    seorang  anak  mempertahankan  suatu  respons  dalam  lingkungan  stimulus  yang berubah-ubah, atau belajar mengubah responnya dalam lingkungan   stimulus   yang tidak berubah. Melalui pertumbuhan, seseorang memperoleh kebebasan dari pengontrolan stimulus melalui proses-proses perantara  yang  mengubah stimulus  sebelum respons.
b.  Pertumbuhan  intelektual  tergantung  pada  bagaimana  seseorang menginternalisasi peristiwa-peristiwa menjdi suatu  sistem  simpanan (storage system)  yang  sesuai  dengan  lingkungan.  Sistem  inilah  yang  memungkinkan peningkatan  kemampuan  anak  untuk  bertindak  di  atas  informasi    yang diperoleh  pada    suatu    kesempatan.  Ia  melakukan  ini  dengan    membuat ramalan-ramalan,  dan  ektrapolasi-ekstrapolasi  dari  model  alam  yang disimpannya.
c.  Pertumbuhan  intelektual  menyangkut  peningkatan  kemampuan  seseorang untuk    berkata  pada    dirinya    sendiri    atau    pada    orang    lain,  dengan  pertolongan kata-kata dan simbol-simbol, apa yang telah dilakukan  atau apa yang dilakukan.

Bruner   (1966)  mengemukakan bahwa  terdapat tiga  sistem   keterampilan untuk menyatakan  kemampuan-kemampuan  secara  sempurna.  Ketiga  sistem keterampilan  itu  adalah  yang  disebut    tiga  cara  penyajian    (modes  of  presents), yaitu:
a.  Cara penyajian  enaktif
Cara  penyajian    enaktif   adalah  melalui    tindakan,  anak    terlibat  secara    langsung dalam      memanipulasi    (mengotak-atik    )objek,    sehingga      bersifat      manipulatif. Anak  belajar  sesuatu  pengetahuan  secara    aktif,  dengan    menggunakan  benda- benda  konkret  atau  situasi  nyata.  Dengan  cara  ini  anak  mengetahui  suatu  aspek dari  kenyataan  tanpa  menggunakan  pikiran    atau  kata-kata.  Cara  ini  terdiri  atas penyajian  kejadian-kejadian yang lampau melalui respon-respon  motorik. Dalam cara penyajian  ini anak secara langsung terlihat.
b.  Cara penyajian ikonik
 Cara  penyajian  ikonik  didasarkan  pada    pikiran    internal  dimana    pengetahuan disajikan  melalui  serangkaian  gambar-gambar  atau  grafik,    yang  dilakukan    anak berhubungan  dengan  mental,  yang  merupakan  gambaran  dari  objek-objek    yang dimanipulasinya. Anak tidak langsung  memanipulasi objek seperti  yang dilakukan  siswa  dalam  tahap  enaktif. Bahasa  menjadi  lebih  penting  sebagai suatu media berpikir.
c.  Cara penyajian simbolik
Cara  penyajian    simbolik  didasarkan  pada  sistem    berpikir  abstrak,  arbitrer,  dan lebih      fleksibel.    Dalam      tahap      ini      anak      memanipulasi      simbol-simbol    atau lambang-lambang  objek    tertentu.  Anak  tidak    lagi  terikat  dengan    objek-objek pada    tahap    sebelumnya.  Siswa    pada   tahap    ini    sudah   mampu    menggunakan notasi tanpa ketergantungan terhadap objek lain.
Dari  hasil  penelitiannya  Bruner   mengungkapkan  dalil-dalil   terkait  penguasaan konsep-kosep  oleh  anak.  Dalil-dalil  tersebut  adalah  dalil-dalil  penyusunan (construction theorem), dalil notasi (notation  theorem), dalil kekontrasan dan dalil variasi (contrast and variation theorem), dalil pengaitan (connectivity theorem).

6. TEORI PEMBELAJARAN SOSIAL
Konsep  motivasi  belajar  berkaitan  erat  dengan  prinsip  bahwa  perilaku  yang  memperoleh penguatan(reinforcement)  di  masa  lalu  lebih  memiliki  kemungkinan  diulang  dibandingkan dengan  perilaku  yang  tidak  memperoleh  penguatan  atau  perilaku  yang  terkena  hukuman (punishment).  Dalam  kenyataannya,  daripada  membahas  konsep  motivasi  belajar,  penganut teori  perilaku  lebih  memfokuskan  pada  seberapa  jauh  siswa  telah  belajar  untuk  mengerjakan pekerjaan  sekolah  dalam  rangka  mendapatkan  hasil  yang  diinginkan  (Bandura,  1986  dan Wielkeiwicks, 1995).

7. TEORI BELAJAR SOSIAL
Dalam  dasawarsa  terakhir,  penganut  teori  konstruktivisme  memperluas  fokus  tradisionalnya pada pembelajaran individual ke dimensi pembelajaran kolaboratif dan sosial. Konstruktivisme sosial bisa dipandang sebagai perpaduan antara aspek-aspek dari karya Piaget dengan karya Bruner dan karya Vyangotsky. Istilah Konstruktivisme komunal dikenalkan oleh Bryn Holmes di tahun  2001.  Dalam  model  ini,  "siswa  tidak  hanya  mengikuti  pembelajaran  seperti halnya  air mengalir  melalui  saringan  namun  membiarkan  mereka  membentuk  dirinya."  Dalam perkembangannya muncullah istilah Teori Belajar Sosial dari para pakar pendidikan. Pijakan  awal  teori  belajar   sosial  adalah  bahwa  manusia  belajar  melalui  pengamatannya terhadap  perilaku  orang  lain.  Pakar  yang  paling  banyak  melakukan  riset  teori  belajar  sosial adalah Albert Bandura dan Bernard Weiner.

Meskipun  classical  dan  operant  conditioning  dalam  hal-hal  tertentu  masih  merupakan  tipe penting dari belajar, namun orang belajar tentang sebagian besar apa yang ia ketahui melalui observasi  (pengamatan).  Belajar  melalui  pengamatan  berbeda  dari  classical  dan  operant conditioning  karena  tidak  membutuhkan  pengalaman  personal  langsung  dengan  stimuli, penguatan  kembali,  maupun  hukuman.   Belajar   melalui  pengamatan  secara  sederhana melibatkan pengamatan perilaku orang lain, yang disebut model, dan kemudian meniru perilaku model tersebut.

Baik  anak-anak  maupun  orang  dewasa  belajar  banyak  hal  dari  pengamatan  dan  imitasi (peniruan)  ini.  Anak  muda  belajar  bahasa,  keterampilan  sosial,  kebiasaan,  ketakutan,  dan banyak  perilaku  lain  dengan  mengamati  orang  tuanya  atau  anak  yang  lebih  dewasa.  Banyak orang  belajar  akademik,  atletik,  dan  keterampilan  musik  dengan  mengamati  dan  kemudian menirukan  gueunya.  Menurut  psikolog  Amerika  Serikat  kelahiran  Kanada  Albert  Bandura, pelopor dalam studi tentang belajar melalui pengamatan, tipe belajar ini memainkan peran yang penting  dalam  perkembangan  kepribadian  anak.

Bandura menemukan   bukti   bahwa   belajar   sifat-sifat   seperti  keindustrian,  keramahan, pengendalian  diri, keagresivan,  dan  ketidak  sabaran  sebagian  dari meniru  orang tua,  anggota keluarga lain, dan teman-temannya.

8. TEORI BELAJAR GESTALT
Menurut  pandangan  teori  gestalt  seseorng  memperoleh  pengetahuan  melaui  sensasi  atau informasi dengan melihat strukturnya secara menyeluruh kemudian menyusunya kembali dalam struktur yang sederhana sehnigga lebih mudah dipahami.
Manfaat dari beberapa teori belajar adalah :
·        Membantu guru untuk memahami bagaimana siswa belajar
·        Membimbing guru untuk merancang dan merencanakan proses pembelajaran
·        Memandu guru untuk mengelola kelas
·        Membantu guru untuk mengevaluasi proses, perilaku guru sendiri serta hasil belajar siswa yang telah dicapai
·        Membantu proses belajar lebih efektif, efisien dan produktif
·        Membantu  guru  dalam  memberikan  dukungan  dan  bantuan  kepada  siswa  sehingga  dapat mencapai hasil prestasi yang maksimal.

9. TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME
Kontruksi  berarti  bersifat  membangun,  dalam  konteks  filsafat  pendidikan  dapat  diartikan Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern.
Konstruktivisme  merupakan  landasan  berpikir (filosofi) pembelajaran konstektual  yaitu  bahwa pengetahuan  dibangun  oleh  manusia  sedikit  demi  sedikit,  yang  hasilnya  diperluas  melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong.
Pengetahuan  bukanlah  seperangkat  fakta-fakta,  konsep,  atau  kaidah yang  siap  untuk  diambil dan  diingat.  Manusia  harus  mengkontruksi  pengetahuan  itu  dan  memberi  makna  melalui pengalaman  nyata. Dengan  teori  konstruktivisme  siswa  dapat berpikir  untuk  menyelesaikan masalah,  mencari  idea  dan  membuat  keputusan.  Siswa  akan  lebih  paham  karena  mereka terlibat  langsung dalam  mebina  pengetahuan  baru,  mereka  akan  lebih  paham  dan  mampu mengapliklasikannya  dalam  semua  situasi.  Selian  itu  siswa  terlibat  secara  langsung  dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep.

10. TEORI KECERDASAN GANDA
Teori  kecerdasan  ganda  (Multiple  intelegence)  merupakan  teori  yang  dikemukakan  oleh Howard Gardner dari Harvard University yang diuraikan pada tahun 1984 dalam buku Frame Of Mind:  The  Multiple  Intelegence. Pada  dasarnya,  teori  ini  menggabungkan  antara  potensi-potensi  otak  kanan  dan  otak  kiri  sehingga  potensi-potensi  tersebut  dapat  berjalan  optimal. Kecerdasan  merupakan  potensi  yang  dimiliki  seseorang  yang  dapat  diaktifkan  melalui  proses belajar,  interaksi  dengan  keluarga,  guru,  teman  dan  nilai-nilai  budaya  yang  berkembang. Kecerdasan  mengandung  dua  aspek  pokok  yaitu;  kemampuan  belajar  dari  pengalaman  dan beradaptasi terhadap lingkungan.

  


= Baca Juga =



Post a Comment

Previous Post Next Post